Gelombang Hijau di Hari Kebangkitan: Ojol Tuntut Keadilan dan Perlindungan
Gambaran Umum

Pada tanggal 20 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai wilayah di Indonesia menggelar demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk protes terhadap kondisi kerja yang dinilai semakin tidak adil dan merugikan. Aksi ini merupakan kulminasi dari rasa frustrasi yang telah lama dirasakan para pengemudi terhadap kebijakan aplikator serta minimnya perlindungan dari pemerintah. Dipimpin oleh Serikat Pekerja Online Indonesia (Sepoi) dan Forum Diskusi Transportasi Indonesia, serta mendapat dukungan penuh dari Garda Indonesia, para peserta aksi menyuarakan berbagai tuntutan krusial terkait kesejahteraan dan kejelasan status kerja mereka.


Demonstrasi berlangsung secara damai namun dengan skala yang masif, melibatkan ribuan pengemudi dari Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Medan. Di Jakarta, massa aksi memadati kawasan strategis seperti Istana Negara, Gedung DPR RI, dan Kementerian Perhubungan. Pemilihan tanggal 20 Mei bukanlah tanpa alasan momentum Hari Kebangkitan Nasional dijadikan simbol perlawanan sekaligus kebangkitan para pekerja sektor informal digital yang selama ini terpinggirkan dalam diskursus kebijakan publik.



Isi tuntutan

Terdapat 5 tuntutan utama dalam aksi ini:


  • Kenaikan dan Standarisasi Tarif
  • Pengemudi meminta kenaikan tarif dasar serta standarisasi di seluruh wilayah Indonesia agar tidak ada diskriminasi antar daerah.


  • Pengurangan Potongan Aplikator
  • Tuntutan agar aplikator seperti Gojek dan Grab menurunkan potongan dari 20–30% menjadi maksimal 10%.


  • Keadilan Sistem Suspensi
  • Banyak pengemudi merasa sistem suspend dan pemutusan kemitraan bersifat sepihak. Mereka meminta transparansi dan hak untuk membela diri.


  • Status Hukum Kemitraan
  • Pengemudi mendesak kejelasan status hukum apakah mereka mitra atau karyawan, agar ada jaminan sosial, perlindungan kerja, dan hak normatif lainnya.


  • Evaluasi PM 12/2019
  • Mereka mendesak revisi Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 yang dianggap tidak lagi relevan dengan realita lapangan.



  • RESPONS PEMERINTAH DAN DPR

  • Kementerian Perhubungan menyatakan akan membuka ruang dialog bersama aplikator dan pengemudi untuk merumuskan tarif dan regulasi baru.
  • Komisi V DPR RI menjadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan perwakilan pengemudi pekan depan, guna membahas kemungkinan revisi regulasi serta sistem kerja.
  • Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengimbau agar aksi berjalan tertib dan menyatakan pihaknya tengah mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.


  • Potensi Dampak Aksi

    Jika tidak segera direspons secara konkret, aksi ini berpotensi menjadi gelombang lanjutan yang lebih besar dan bisa menyebabkan:

  • Gangguan layanan transportasi dan logistik berbasis aplikasi.
  • Meningkatnya ketegangan antara driver dan aplikator.
  • Peningkatan tuntutan hukum terhadap aplikator, termasuk kemungkinan gugatan class action.


  • Sikap Komunitas Pengemudi Lain dan Pandangan Pengamat

    Koalisi Ojol Nasional (KON), yang secara tegas memutuskan untuk tidak ikut serta dalam demonstrasi besar-besaran pada 20 Mei 2025. Meski mengakui bahwa isu-isu yang diangkat seperti ketidakadilan tarif, potongan aplikator, dan mekanisme suspend sepihak merupakan masalah nyata yang perlu segera diatasi, KON menilai bahwa cara penyampaian melalui aksi massa di ruang publik bukanlah pendekatan yang paling efektif, terutama di tengah situasi sosial-politik yang sensitif. KON menyampaikan keprihatinan bahwa demonstrasi semacam ini berpotensi ditunggangi oleh kepentingan politik atau pihak-pihak luar, yang bisa saja mengalihkan fokus perjuangan dari kepentingan pengemudi itu sendiri. Oleh karena itu, mereka lebih memilih menempuh jalur dialog langsung dengan pihak aplikator dan pemerintah, dengan harapan solusi yang didapat bersifat lebih konkret, berkelanjutan, dan tidak menimbulkan gesekan sosial yang tidak perlu.


    Pengamat dan analis hubungan industrial, yang melihat fenomena ini sebagai indikasi kuat adanya ketimpangan struktur kekuasaan dalam ekosistem kerja gig economy di Indonesia. Para pengemudi berada dalam posisi lemah, tanpa perlindungan hukum yang memadai, sedangkan aplikator sebagai perusahaan teknologi memiliki kendali penuh atas sistem dan algoritma yang menentukan penghasilan para pengemudi. Hal ini menimbulkan relasi kerja yang timpang, di mana satu pihak dapat menentukan kebijakan sepihak tanpa ada ruang negosiasi sejati. Karena itu, para analis menilai bahwa negara tidak bisa terus bersikap pasif dalam menghadapi dinamika ini. Diperlukan intervensi regulatif yang adil, transparan, dan partisipatif, guna menghindari konflik berkepanjangan dan ketidakpastian hukum yang merugikan jutaan pekerja informal digital. Ketiadaan regulasi yang jelas hanya akan memperbesar kesenjangan dan berpotensi menciptakan gejolak sosial yang lebih luas di masa depan



    REFERENSI:

    1. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cj425z82x47o
    2. https://www.kompas.com/tren/read/2025/05/20/070000465/5-tuntutan-demo-ojol-besar-besaran-hari-ini-apa-saja?page=all
    3. https://news.detik.com/berita/d-7922274/driver-ojol-demo-besar-besaran-di-istana-hingga-dpr-hari-ini
    4. https://www.liputan6.com/bisnis/read/6028500/6-fakta-demo-ojol-20-mei-2025-yang-perlu-diketahui?page=3
    5. https://www.tempo.co/politik/demo-ojol-tanggapan-dpr-dan-menteri-1493875
    6. https://news.detik.com/berita/d-7922828/komisi-v-dpr-bakal-dengar-pendapat-ojol-pekan-depan-bahas-regulasi-baru
    7. https://news.detik.com/berita/d-7922698/puan-imbau-demo-ojol-tertib-kita-di-dpr-sedang-cari-win-win-solution