Dalam ilmu hukum dikenal sebuah adagium “Inde Datae Leges be Fortior Omnia Posset” yang memiliki arti hukum dibuat, jika tidak orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas. Berdasarkan adagium tersebut, seharusnya hukum hadir dan membatasi kekuasaan penguasa untuk tidak berbuat sewenang-wenang. Namun hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Negara Republik Indonesia, alih-alih digunakan sebagai pembatas kekuasaan penguasa malah hukum digunakan untuk memperluas kekuasaanya.
Seluruh media sosial dipenuhi dengan gambar peringatan darurat berwarna biru dan meliput kondisi Negara Republik Indonesia yang sedang darurat demokrasi ini. Bukan melebih-lebihkan melainkan hal ini lah yang sedang terjadi di Indonesia. Bersama Komisi 1 Politik, Hukum, HAM, dan Keamanan DPM UNTAR mari kita mereview kondisi ini.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024
Semua berawal dari kabar baik yang datang dari Mahkamah Konstitusi, setelah mengeluarkan putusan kontroversial yang mengubah syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden, Mahkamah Konstitusi mencoba kembali memperbaiki nama lembaga yang dijuluki the guardian of the constitution.
Hari Selasa 22 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang pada amar putusan Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah pada pasal 40 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan UU Pilkada. Dalam putusan tersebut juga Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada intinya, Mahkamah Konstitusi mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah, dimana partai atau gabungan partai tidak lagi harus mengumpulkan minimal 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. MK juga memutuskan calon kepala daerah tingkat provinsi atau calon gubenur harus berusia 30 tahun saat ditetapkan oleh KPU sebagai kandidat resmi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Putusan MK ini cukup progresif dan memenuhi hati masyarakat yang anti-kekuasaan otoriter dan dinasti politik. Setidaknya putusan ini memungkinkan semakin banyak pilihan yang akan maju dalam pilkada.
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat merevisi UU Pilkada
Sangat disayangkan, setelah Mahkamah Konstitusi mencoba memperbaiki demokrasi di negeri ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) malah kembali melukai pilar demokrasi. Alih-alih mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI justru merevisi UU Pilkada yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan semua kembali kepada aturan lama. Sedangkan usia kandidat diputuskan mengikuti keputusan Mahkamah Agung yaitu berusia 30 tahun saat dilantik. Lebih mirisnya semua ini hanya dikebut satu hari saja, ya benar! Satu hari saja!
Badan Legislasi atau (BALEG) DPR RI menggelar rapat menjelang PILKADA 2024 pada Rabu, 21 Agustus 2024. Salah satu pembahasan adalah ingin menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII22/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah Untuk semua partai politik peserta pemilu. Secara teori putusan MK bersifat final dan mengikat dan juag berlaku untuk semuanya. Namun baleg DPR RI diduga berusaha untuk mengakali putusan tersebut dan menghiraukan putusan MK. Membuat Undang-Undang dalam sehari sangatlah mustahil untuk membuat naskah akademik dan tidak memungkinkan untuk sosialisasi rancangan terlebih dahulu. Apalagi untuk mendengar aspirasi dan partisipasi rakyat
Semua ini bukan mengenai salah satu pasangan calon atau anak dari presiden melainkan mengenai hukum kita yang selalu dipotong dan diabaikan. DPR RI akan menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan Revisi UU pilkada yang dijadwalkan pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Rapat paripuna DPR RI ditunda
Pada Kamis, 22 Agustus 2024 rapat paripurna DPR dibuka sekitar pukul 09.30 WIB dan dipimpin oleh Tiga Wakil Ketua DPR yaitu, Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Paulus, dan Rachmat Gobel lantas menunda sidang hingga 30 menit. Beberapa saat setelah rapat dibuka, rapat kemudian diskors kembali selama 30 menit dikarenakan masih sedikit anggota DPR yang hadir di ruangan, pada pukul 10.00 WIB skorsing dicabut dan rapat kembali dibuka. Berdasarkan laporan dari Sekretariat Jenderal DPR, anggota dewan yang hadir cuma 89 orang, dan ada 87 anggota yang izin tidak bisa mengikuti rapat paripurna. Jumlah tersebut tidak memenuhi persyaratan kuorum dikarenakan kurang dari 50 persen plus 1 total jumlah anggota DPR RI sebanyak 575 anggota. Selain itu kuorum juga tidak terpenuhi karena tidak dihadiri oleh perwakilan dari seluruh fraksi partai. Kondisi ini membuat Dasco selaku pemimpin rapat mengetok palu sidang tanda ditundanya Rapat paripurna .
Kesimpulan
MK melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 sudah mengubah syarat pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, membuat partai atau gabungan partai tidak lagi harus mengumpulkan minimal 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. MK juga memutuskan calon kepala daerah tingkat provinsi atau calon gubenur harus berusia 30 tahun saat ditetapkan oleh KPU sebagai kandidat resmi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Putusan MK ini cukup progresif karena masyarakat Indonesia sudah muak dengan pilihan calon penguasa yang terbatas dari hasil dari cap cip cup para elit politik.
Namun sangat disayangkan, alih-alih mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI justru merevisi UU Pilkada yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan semua kembali kepada aturan lama. Sedangkan usia kandidat diputuskan mengikuti keputusan Mahkamah Agung yaitu berusia 30 tahun saat dilantik. Lebih mirisnya semua ini hanya dikebut satu hari saja. Tidak adanya sosialisasi dan ruang untuk mendengarkan aspirasi membuat matinya demokrasi di negeri ini.
Sikap DPM UNTAR
Teman-teman peringatan darurat ini perlu kita sadari, pertama karena kita berhak untuk bersuara dan kedua supaya sebanyak-banyaknya mahasiswa dan rakyat mengetahui bahwa Rapat yang diadakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bukan untuk kepentingan Rakyat.
Dengan ini DPM Untar tidak setuju dan menolak revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR, seharusnya DPR dapat mematuhi Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
REFERENSI:
- https://kesbangpol.kulonprogokab.go.id/detil/1040/hmk-ubah-ambang-batas-pencalonan-pilkada-parpol-tanpa-kursi-dprd-bisa-ajukan-kepala-daerah
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckgwe5qpyzjo
- https://newsletter.tempo.co/read/1906600/mahkamah-konstitusi-ubah-syarat-ambang-batas-pencalonan-kepala-daerah-ditentukan-dpt
- https://nasional.kompas.com/read/2024/08/22/10154011/tak-penuhi-kuorum-rapat-paripurna-pengesahan-uu-pilkada-ditunda
- https://peraturan.bpk.go.id/Details/37311/uu-no-10-tahun-2016
- https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_10997_1724127749.pdf
- https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_11003_1724130779.pdf