RUU Perampasan Aset : Janji Reformasi atau Sekedar Pemenuhan Gimik Politik
Gambaran Umum

Perampasan aset merupakan instrumen penting dalam pemberantasan tindak pidana, khususnya korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) telah lama menjadi perdebatan di Indonesia, namun hingga kini belum juga disahkan. RUU ini mengusung konsep non-conviction based confiscation, yaitu memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelaku. Meski demikian, pembahasannya di DPR RI berjalan lambat dan memunculkan sejumlah kontroversi, terutama terkait perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan potensi penyalahgunaan kewenangan.



Konsep dan Tujuan RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset bertujuan:

  • Mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana.
  • Mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme.
  • Memberikan efek jera dengan memiskinkan pelaku kejahatan.
  • Mencegah pelaku menggunakan kembali aset hasil tindak pidana.
  • Memungkinkan perampasan aset tanpa putusan pengadilan (non-conviction based).
  • Memperluas cakupan tindak pidana yang dapat dikenai perampasan aset, termasuk korupsi, pencucian uang, terorisme, dan kejahatan ekonomi lainnya.
  • Menyediakan prosedur yang jelas dalam penyitaan dan perampasan aset, termasuk hak pemilik aset dan mekanisme pengadilan.


  • Pasal-Pasal Krusial dan Potensi Masalah

    Beberapa pasal yang dianggap krusial dalam draf RUU Perampasan Aset:

  • Pasal 2: Perampasan aset tidak didasarkan pada penjatuhan pidana pelaku tindak pidana.
  • Pasal 3 ayat (1): Perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan penuntut pelaku tindak pidana.
  • Pasal 5 ayat (2): Aset yang dirampas adalah aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usulnya.
  • Kritik utama terhadap pasal-pasal ini adalah potensi pelanggaran asas praduga tak bersalah dan HAM, karena memungkinkan penyitaan sebelum ada putusan pengadilan yang inkracht. Selain itu, ada kekhawatiran RUU ini bisa disalahgunakan oleh aparat untuk kepentingan tertentu, sehingga pengawasan dan prosedur yang ketat sangat diperlukan.

    Sikap dan Dinamika di DPR

  • DPR RI melalui Komisi XIII dan Badan Legislasi (Baleg) telah menyoroti pentingnya RUU Perampasan Aset, namun pembahasannya kerap tertunda. Salah satu alasannya adalah perlunya kajian mendalam terkait perlindungan HAM dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
  • Beberapa legislator menyesalkan lambannya pemerintah mengusulkan RUU ini ke dalam Prolegnas Prioritas, padahal urgensinya sangat tinggi dalam konteks pemberantasan korupsi.
  • Proses legislasi juga terhambat oleh dinamika politik antarfraksi dan perlunya komunikasi intensif antara pemerintah dan DPR


  • Perspektif Kritis: Pro-Kontra dan Tantangan

    Pro
  • RUU ini diyakini akan memperkuat pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi, serta mempercepat pengembalian aset negara yang dirampas pelaku kejahatan.
  • Konsep non-conviction based dianggap relevan untuk kasus di mana pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak dapat diadili, serta aset yang disembunyikan di luar negeri.

  • Kontra
  • Potensi pelanggaran HAM, terutama hak atas kepemilikan dan asas praduga tak bersalah, menjadi kekhawatiran utama.
  • Dikhawatirkan menjadi alat represif jika tidak diatur secara ketat, terutama pada pasal-pasal yang memungkinkan penyitaan tanpa putusan pengadilan.
  • Proses legislasi yang lambat juga menandakan adanya tarik-menarik kepentingan politik di DPR, sehingga urgensi pemberantasan korupsi kerap terhambat oleh kompromi politik


  • Perbandingan dengan Regulasi Eksisting

    Saat ini, perampasan aset diatur secara terbatas dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta sejumlah peraturan lain. Namun, mekanisme yang ada masih berbasis conviction based(berdasarkan putusan pidana), sehingga kurang efektif untuk kasus-kasus yang kompleks dan lintas negara



    Pembanding Internasional: Penerapan NCB di Negara Lain

    Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia telah menerapkan sistem Non-Conviction Based Asset Forfeiture dengan sangat efektif. Di Inggris, misalnya, Proceeds of Crime Act 2002 memberikan kewenangan kepada otoritas untuk merampas aset tanpa adanya putusan pidana, selama dapat dibuktikan bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana. Negara-negara tersebut sudah memulihkan triliunan dolar dari aset ilegal yang sebelumnya sulit untuk disita melalui sistem hukum pidana yang ada.


    Indonesia, yang masih bergantung pada prinsip conviction-based untuk perampasan aset, tertinggal jauh dalam hal penerapan peraturan yang lebih progresif ini.



    Rekomendasi dan Langkah Ke Depan
  • DPR perlu mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, LSM, dan masyarakat sipil, untuk memastikan perlindungan HAM dan mencegah penyalahgunaan kewenangan.
  • Pasal-pasal yang berpotensi multitafsir harus diperjelas, dan mekanisme pengawasan diperkuat.
  • Pemerintah dan DPR harus transparan dalam proses legislasi agar publik dapat mengawasi dan memberikan masukan secara aktif.


  • Sikap DPM Untar

    Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Tarumanagara (DPM UNTAR) menyatakan sikap kritis terhadap RUU Perampasan Aset. DPM UNTAR mendukung urgensi pembentukan regulasi yang kuat untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi melalui perampasan aset hasil tindak pidana. Namun, mereka juga mengingatkan perlunya pengaturan yang ketat agar RUU tersebut tidak menjadi alat penyalahgunaan kewenangan yang mengabaikan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.


    DPM UNTAR menilai bahwa DPR dan pemerintah harus memastikan bahwa proses legislasi RUU Perampasan Aset melibatkan partisipasi publik yang luas dan transparan, termasuk konsultasi dengan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil. Hal ini penting untuk menghindari ketidakpastian hukum dan potensi pelanggaran hak milik warga negara. Selain itu, DPM UNTAR menyoroti sikap DPR RI yang selama ini cenderung menunda pembahasan RUU tersebut karena tarik-menarik politik antarfraksi dan ketidakpastian keputusan politik partai. Menurut DPM UNTAR, sikap tersebut justru menimbulkan kekecewaan publik yang berharap adanya komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi.


    DPM UNTAR mendorong DPR untuk segera mengambil keputusan politik yang jelas dan berani untuk mempercepat proses pembahasan agar regulasi ini dapat segera diimplementasikan secara efektif dan berkeadilan. Penambahan ini memperkaya kajian dengan perspektif kritis dari kalangan mahasiswa yang juga menjadi bagian dari pengawas demokrasi dan legislasi di Indonesia.



    REFERENSI:

    1. https://jdih.dpr.go.id/berita/detail/id/52715/t/Legislator+Sesalkan+Pemerintah+Tidak+Usulkan+RUU+Perampasan+Aset+dalam+RUU+Prolegnas+Prioritas+2025?TSPD_101_R0=081c85ac7fab20004e1a5ecd90e5e78b904536085a2db94b25fddf96b0e679dc7407cf9265b164a4081f83ed2f143000135dc0f982f585cc9a5ce102c3b9a4fe2e73d40f6d08ad9f445bf494c23cb179a015bdba5fdfb08c6aaacaa11c91fcf9
    2. https://www.kompas.tv/article/407047/ini-sejumlah-pasal-krusial-dalam-draf-ruu-perampasan-aset-koruptor-yang-tak-kunjung-dibahas-dpr
    3. https://www.law-justice.co/artikel/177798/analisis-hukum-ruu-perampasan-aset-yang-tak-kunjung-disahkan/
    4. https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan---I-PUSLIT-November-2024-208.pdf
    5. https://babel.antaranews.com/berita/482065/hoaks-prabowo-akan-bubarkan-dpr-jika-tak-sahkan-ruu-perampasan-aset
    6. https://www.tempo.co/politik/mahfud-md-sebut-pemerintah-sudah-ajukan-ruu-perampasan-aset-tapi-belum-dibahas-dpr-97829
    7. https://kemenkum.go.id/berita-utama/pemerintah-dan-dpr-serius-bahas-ruu-perampasan-aset-tetapi-harus-dikaji-mendalam?csrt=6130294772708774649